Senin, 14 Agustus 2017

Memahami Takdir dan Nasib

Memahami Takdir dan Nasib

takdir-bisa-diubah_20150426_143805
Perkara ini adalah hal yang sangat sulit, dan karenanya bila benar hanya datang dari Allah, jika salah mestinya dari kebodohan saya semata.
Dalam perihal takdir, sesuai peristiwa Awalin kejadian manusia, bahwa manusia sebelum diturunkan kedunia telah ditetapkan 4 takdirnya yaitu rezeki, jodoh, ajal, bahagia dan celakanya. 4 hal ini murni rahasia Allah.
Dipihak lain dalam perihal Nasib Allah memberikan keleluasaan dan kebebasan untuk manusia untuk merubah nasibnya sesuai dengan kadar kemampuan yang dimilikinya.
Dari 2 pengertian ini, yang pertama  terdapat unsur kepasrahan (Fatalisme) untuk manusia agar selalu mengikuti ketetapanNya, Tuhan sebagai obyek dan manusia sebagai Subyek. Sementara pengertian kedua mengacu dengan diberikannya manusia akal dan pikiran sehingga diberi daya atau kemampuan untuk merubah nasibnya. Dalam hal ini manusia diberi subyek, namun sebagai subyek fana.(terbatas)
Lalu bagaimana penerapannya? Secara sederhana menjadi demikian:
Rezeki : Allah menetapkan rezeki kepada makhluknya tak terkecuali burung-burung dan binatang melata yang bergerak lambat sekalipun mendapatkannya. Takdirnya manusia itu juga demikian pasti mendapat rezeki, hanya mengenai banyak tidaknya seseorang mendapatkan  rezeki itu adalah bagaimana nasibnya manusia sendiri mengusahakannya.
Jodoh : Alah menjadikan segala sesuatunya berpasangan termasuk laki-laki dan wanita, agar dapat saling kenal mengenal dan menjadikan tentram antara satu sama lainnya yang diikat dengan perkawinan. Takdirnya manusia itu untuk mendapatkan jodoh, namun soal mendapatkan pasangan yang baik atau tidaknya (sholeh atau sholehah) atau kapan waktunya adalah tergantung nasibnya dalam mengupayakannya.
Ajal / maut: Ajal/maut bila datang tidak dapat ditangguhkan waktunya atau dimajukan walau sedetikpun. Takdirnya manusia itu pasti menemui ajalnya, namun soal kapan waktunya dicabut / ajalnya itu dalam keadaan baik (husnul khotimah) atau buruk (su’ul khotimah) adalah bagaimana nasibnya dalam mengikhtiarkannya.
Bahagia dan Celaka : Takdirnya manusia adalah mendapatkan bahagia dan celaka, namun soal mana yang lebih banyak datang bahagia atau celakanya tergantung pada nasib manusia mengupayakannya. Tidak ada  bahagia dan celaka ditimpakan oleh Allah  kecuali atas IzinNya. Sabda Nabi: “Tidaklah setiap kejadian dan peristiwa yang dialami seseorang kecuali atas izin Allah (HR Attirmidzi dan Ibnu Hibban)
Dalam hal mengatasi ketentuan takdir ke 4, ada beberapa  referensi ayat dan hadis yang menyatakan  bahwa doa, sedekah, tobat dan perbuatan baik  mampu menolakkan takdir yang buruk yaitu:
  • Doa seorang hamba dapat menolak bencana sebagaimana Sabda Nabi saw: “Barangsiapa hatinya terbuka untuk berdo’a, maka pintu-pintu rahmat akan dibukakan untuknya. Tidak ada permohonan yang lebih disenangi oleh Allah daripada permohonan orang yang meminta keselamatan. Sesungguhnya do’a bermanfa’at bagi sesuatu yang sedang terjadi dan yang belum terjadi. Dan tidak ada yang bisa menolak taqdir kecuali do’a, maka berpeganglah wahai hamba Allah pada do’a”. (HR Attirmidzi dan Hakim).
  • Sedekah dapat menolak murka Allah seperti Nabi bersabda saw : “Obatilah orang-orang yang sakit dari kalian dengan sedekah. Sesungguhnya sedekah itu dapat meredam murka Allah, dan menolak kematian yang buruk” (HR Tirmidzi). Nabi juga bersabda, al-shadaqah tadfa’ul bala’ (sedekah itu meredam bencana).
  • Orang yang selalu bertobat sebagaimana Firman Allah : Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (Al Anfal: 33).
  • Dengan perbuatan baik sebagaimana Firman Allah : Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula) (Arrahman : 60)
Wallahu a’lam

Tafakur: arti, macam dan faedahnya

Tafakur: arti, macam dan faedahnya

tafakur
Kata-kata tafakur berulangkali disebutkan kala Allah menjelaskan mengenai suatu penciptaan atau kejadian dalam ayat-ayatNya. Tafakur artinya berfikir, merenungkan akan sesuatunya.
Ali Bin Abi Thalib berkata : Tiada ibadah yang sepadan dengan tafakur
Beberapa ulama makrifat berkata : Tafakur adalah pelita hati, jika tafakur hilang pada diri seseorang, maka hilanglah pelita hatinya.
Tafakur juga tidak sekedar tafakur, karena menurut Sheikh Nawawi al Bantani dalam kitab Nashaihul Ibad, ada tafakur yang sangat bernilai di mata Allah. Tafakur yang demikian pada garis besarnya terbagi dalam 5 macam yaitu :
1. Tafakur tentang ayat-ayat Allah, melahirkan tauhid dan keyakinan kepada Allah.
Tafakur akan ayat-ayat Allah adalah tafakur tentang ciptaan Allah yang menakjubkan dan tentang bukti-bukti kekuasanNya. Baik yang ghaib maupun yang tidak yang semuanya terbentang di langit dan dibumi. Diantara ciptaan Allah yang menakjubkan adalah manusia itu sendiri
Firman Allah : Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (Adhariyat: 20-21)
2.  Tafakur tentang nikmat-nikmat Allah, melahirkan rasa cinta dan syukur kepada Allah
Tafakur akan nikmat faedahnya adalah agar kamu beruntung, dapat mengambil nasehatNya dan kepada Allahlah tempat meminta pertolongan.
Firman Allah: Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Al A’taf : 69)
Firman Allah : Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.(Ibrahim :34)
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.(Annahl:53)
3. Tafakur tentang janji-janji Allah, melahirkan rasa cinta kepada akhirat.
Tafakur kepada janji-janji Allah faedahnya adalah selalu diberikan jalan-jalan yang mudah, merubah ketakutan menjadi aman sentausa dan mengantarkan orang mukmin ke syurga..
Firman Allah : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.(AlLail : 5-7)
Firman Allah : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.(Annur : 55)
Firman Allah : Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, (Al Infithar 13)
4. Tafakur terhadap ancaman Allah melahirkan sikap waspada terhadap perbuatan dosa
Tafakur akan ancaman Allah faedahnya adalah mengingatkan untuk tidak durhaka sehingga mendapatkan balasan neraka. Orang durhaka mengira Allah menganiaya mereka, padahal mereka yang menganiaya diri mereka sendiri.
Firman Allah : dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.(al Infithar :14).
Firman Allah : Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.(Al ankabut:40)
5. Tafakur tentang kekurangan diri dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, melahirkan rasa takut kepada Allah.
Sementara itu tafakur akan kekurangan diri faedahnya adalah mengetahui asal, fungsi dan tujuan manusia diciptakan, mengetahui bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, munculnya rasa malu dan sifat zuhud, cinta akhirat dan mengingat mati
Firman Allah : Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?(Al Mukminun 115)
Firman Allah : Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (Qaf : 16)
Firman Allah : Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.(Al A’la :16-17)

Sifat wara’: arti, ciri dan keutamaannya

Sifat wara’: arti, ciri dan keutamaannya

657xauto-cobalah-jalan-jalan-di-hutan-dan-rasakan-7-manfaat-dahsyat-ini-150608c
Pengertian wara’
Prinsip dasar wara’ adalah sifat yang berisi  kehati-hatian yang luar biasa dan tidak adanya keberanian untuk mendekati sesuatu yang bersifat haram, termasuk juga hal-hal yang sifatnya ragu-ragu atau subhat.
Dan dalam hal ini, Nabi Saw bersabda:
Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.
Wara’ membawa ketenangan hati
Imam al-Bukhari ra mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan ra: ‘Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara’: “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. Begitu juga terhadap hal dimana hati mengingkarinya sesuai Ibnu ‘Asakir ra:“Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah.
Terkait dengan gerak hati ini, Nabi Saw bersabda:
Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu.
Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap preventif dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram.
Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda: “Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang.”
Sifat wara’ dan keutamaan menjaga lisan
Sifat wara’ juga menyangkut  hubungan mu’amalah, utamanya soal lisan. Ishaq bin Khalaf ra memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: ‘Wara’ dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak.
Di antara renungan Ibnu al-Qayyim ra dalam hadits-hadits Rasulullah, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah  mengumpulkan semua sifat wara’ dalam satu kata, maka beliau bersabda:
Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.”         
Sifat wara’ menjadikan diri selalu terjaga
Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara’ bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara’, maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar ra dan’Aisyah ra berkata tentang Zainab ra, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: ‘Maka Allah  menjaganya dengan sifat wara’.    
Maka dengan demikian  wara’ merupakan :
  • kedudukan ibadah yang tertinggi:”Jadilah orang yang wara’ niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah.”  Dan
  • agama yang paling utama adalah sikap wara’:”Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara’

Dendam: sifat, ciri dan akibatnya

Dendam: sifat, ciri dan akibatnya

dendam
Dalam sebuah Hadis, Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
“Sebaik-baik anak Adam, ialah orang yang lambat marahnya dan segera pula reda bila sudah marah, dan sejahat-jahat anak Adam yang lekas marahnya dan lambat pula reda marah itu.”
Al Gazali berkata: Ketahuilah kemarahan itu apabila tetap meluap-luap karena memang tidak dapat melenyapkannya seketika, maka ia masuk kedalam hati dan terus bergejolak dalam hati, sehingga akhirnya menjadi dendam.
Dengan demikian pengertian dendam adalah sebagai akibat marah yang dipelihara, berkesinambungan dan yang melakukan perbuatan ini akan menghanguskan amal atau pahala seseorang dan kesengsaraan bagi dirinya berupa ketidaktenangan dan ketidaktentraman hidup. Karena seseorang yang menaruh dendam dan sakit hati, akan membiarkan perasaan-perasaan negatif memenuhi hati menjadikan diri tidak tenang, tersiksa yang dipenuhi rasa marah,  benci dan berakibat serta mendorong timbulnya penyakit.
Dendam sudah berwujud pada tindakan untuk membalas orang lain yang menjadi kebencian dan kedengkiannya. Bila dendam ini menyangkut dua pihak dan jika dibiarkan maka akan melahirkan sikap permusuhan yang tiada habisnya, saling membalas, saling mencari sekutu sehingga menjadi konflik terbuka.
Bila dilakukan dendam itu dengan orang yang lebih lemah, itu akan berwujud tindakan semena-mena, apapun akan dipandang jelek baginya, suka mengejek dan mentertawakan, membuka aibnya, meniadakan dan menghasut orang lain untuk mengikuti membencinya sehingga cenderung menjadi tindakan aniaya.
Bila sebaliknya dihadapkan pada pihak yang sepadan atau lebih kuat, sangat mungkin terjadi tindakan saling balas, saling mengambil kesempatan untuk melepas kebencian, melepaskan intrik, konspirasi untuk saling menghancurkan. Lamanya dendam serupa ini juga tidak jelas kapan redanya, bila masing-masing pihak merasa benar, tidak ada yang mau mengalah dan memaafkan, maka dendam akan lama bahkan dapat berlangsung dari generasi ke generasi.
Bila sudah berkobar menjadi konflik terbuka, bila tidak segera ditangani,  maka akan  sulit ditelaah dimana duduk persoalannya, karena menjadi tidak sangat jelas lagi mana yang harus dibela dan ditentang, karena semua akan merasa dirinya yang paling benar. Dan konflik ini tidak jarang dapat membawa korban tidak saja yang saling dendam tetapi dapat menyeret orang lain.
Karena itu Islam sangat memperhatikan gejolak ini, termasuk dampak jelek terjadinya dendam terutama didalam kehidupan bermasyarakat. Islam tidak menginginkan umatnya menjadi pendendam, walaupun kepada orang kafir sekalipun. 
Sabda Nabi saw: Orang mukmin itu bukanlah pendendam. Allah tidak menghendaki umatnya sebagai pendendam, melainkan menghendaki hamba-hamba-Nya  menjadi pemaaf. Firman Allah :Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(Al Araf: 199)
Dendam juga pernah merasuki khalifah Abu bakar ra, yang bersumpah untuk tidak lagi menolong saudaranya, karena kesalahan yang dibuat saudaranya itu. Akibat perbuatan itu, turunlah ayat Allah yang meminta Abu Bakar ra agar mengutamakan kekeluargaan daripada memperturutkan dendam.
Firman Allah: Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Annur: 22)
Rasa benci dan amarah yang ada di dalam hati, hendaklah ditahan untuk tidak dilampiaskan pada waktu yang lain. Dalam kaitan ini terlihat tindakan melupakan dendam sebagai sifat yang lemah, namun sebaliknya adalah kuat dan cermin jiwa yang besar dalam artinya mampu mengikuti akal sehatnya bahwa dendam tiada lain hanya akan menggerogoti diri dan merugikan orang lain jika dibiarkan.
Orang yang mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain tiada lain balasannya kecuali kemuliaan di sisiNya. Memang memaafkan orang yang pernah berbuat zalim atau dendam kepada diri merupakan perbuatan yang sangat berat, namun bila dilaksanakan itu sangat menenangkan hati.
Orang yang memiliki dendam, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Terdapat rasa benci dalam hati terhadap orang yang didendami
  2. Merasa tidak senang jika orang yang didendami mendapat suatu kebahagiaan atau kenikmatan
  3. Merasa senang jika orang yang didendami mendapat kesengsaraan, musibah atau cobaan
  4. Adanya keinginan untuk berbuat jahat atau membalas kejahatan terhadap orang yang didendami
  5. Mempengaruhi orang lainuntuk mencelakakan atau menjauhi orang yang didendami.
Karena itu dendam membahayakan diri sendiri diantaranya : menghilangkan ketenangan jiwa, membatasi pergaulan karena berusaha menjauhi atau meniadakan orang yang didendaminya, menjauhkan silaturahmi, sebagai sumber perselisihan dan permusuhan, selalu marah bila orang lain menceritakan kebaikan orang yang didendaminya, munculnya penyakit hati yang lain iri, suka mengumpat, membohongi, membuka aib orang lain dan fitnah, menimbulkan penyesalan dikemudian hari dan yang jelas mendapat murka Allah.
Wallahu a’lam

Kisah haji 10: akibat sombong

Kisah haji 10: akibat sombong

Sedang-Sai
Seorang ketua rombongan jemaah haji merasa senang, karena diberi kekuatan untuk berjalan lebih cepat melebihi jemaah lainnya. Banyak jemaah yang kagum padanya dan kekaguman itu terdengar oleh istrinya.
Suatu hari istri ketua rombongan itu sakit di maktab. Pulang dari salat di mesjidil haram, tentu si ketua rombongan bergegas pulang menemui istrinya.  Di tengah perjalanan, para jemaah berkata: ” Pak kok jalannya cepat amat ?
Si Ketua rombongan menjawab dengan gagah : “Ini baru gigi 2, belum gigi 5. Gigi 5 lebih cepat lagi.
Setelah merawat sang istri, ketua rombongan pun tidur. Menjelang subuh, si ketua rombongan bangun untuk tahajud di mesjidil haram. Kaki susah digerakkan seperti lumpuh. Ia berpikir, ada peristiwa apa kemarin hingga kakinya sulit digerakkan, jatuh tidak, keseleo juga tidak, keinjak juga tidak.
Lama merenung, ia teringat dengan dialog jemaah tadi. Lalu ketua rombongan itu beristighfar berkali kali di maktab. Sakit agak berkurang, namun masih susah digerakkan. Tengah malam, dengan kaki diseret pergi ke mesjid. Dihadapan multazam bertobat kepada Allah, kemudian, kakipun mulai nyaman untuk salat, alias pulih kembali.
Wallahu a’lam

Doa terhindar dari kesesatan, kebodohan dan kezaliman kala keluar rumah

Doa Ketika Keluar Rumah
Kala kita keluar rumah membaca doa “BismiLlaahi tawakkaltu ‘alAllaah, laa hawla wa laa quwwata illaa biLlaah ada baiknya membaca doa tambahan agar diri kita terhindar dari kesesatan dan disesatkan, tergelincir dan digelincirkan, zalim dan dizalimi dan bodoh dan dibodohi dalam melangkah.
Bunyi doanya sebagaimana dituntunkan Rasulullah Saw adalah sebagai berikut :
Ya Allah, aku berlindung kepada Mu dari menjalani jalan yang sesat atau disesatkan orang, dari tergelincir atau digelincirkan orang, dari berlaku zalim atau dizalimi orang atau berlaku bodoh dari orang yang berlaku bodoh kepada diriku.
Doa diatas di abadikan oleh Abu Dawud yang diriwayatkan dari Ummu Salamah yang mengatakan bahwa  Nabi Saw tidak pernah melihat nabi keluar dari rumahnya kecuali dengan menengadahkan pandangannya ke langit dan kemudian membaca doa diatas.
Ada 4 jenis yang dimohonkan perlindungan sesuai isi doa diatas:
1.Kesesatan dan disesatkan
Kesesatan itu bisa muncul karena kita memang tersesat, dan tersesat itu bisa terjadi karena ketidak tahuan. Sedangkan disesatkan adalah karena faktor lain, baik itu faktor dari setan maupun manusia lain. Kita disesatkan juga karena ketidaktahuan. Bisa juga karena sudah tahu, namun karena iman yang lemah maka diri kita mudah disesatkan sehingga tergelincir oleh godaan dan rayuan pihak lain.
2. Tergelincir atau digelincirkan
Hal ini sama dengan yang diatas, dua hal ini mendorong seseorang kearah kejahatan. Tergelincir atau sengaja di gelincirkan orang, layaknya orang yang sudah mengetahui akan kebaikan, namun masih mempunyai potensi untuk terseret maupun diseret kedalam kesesatan.
3. Berlaku zalim atau dizalimi
Sungguh ketika seseorang berlaku zalim, ia berarti telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan, baik bagi dirinya sendiri maupun yang di zalimi. Kezaliman bisa berbentuk fisik maupun non fisik. Berbuat ingkar kepada Allah atau tidak melaksanakan perintah Nya adalah bentuk kezaliman. Begitu pula berbuat tidak adil pada sesama makhluk adalah kezaliman. Hanya saja yang pertama sang pelakuk yang rugi, sedangkan yang kedua merugikan kedua beleh pihak.
4. Berlaku bodoh atau di bodohi
Berlaku bodoh atau ada orang yang membodohinya. Karena, perbuatan orang bodoh itu bisa membahayakan dirinya. Sungguh menyakitkan ketika kita dipermainkan orang karena kebodohan kita; sehingga mudah diperdaya, diombang ambingkan dan sebagainya. Kebodohan adalah simbol kelemahan.
Semoga Allah melindungi kita semua dari  hal hal diatas.
Dari buku Doa ajaran Rasul, Anis Masykur)
Wallahu a’lam

Kebahagiaan tidak di mana mana melainkan ada di hati

Kebahagiaan itu tidak dimana-mana melainkan ada di hati
Bahagia pada setiap orang itu relatif. Banyak orang berpikir bahwa kebahagian itu seperti menerima sesuatu, kekayaan, kecantikan, ketenaran seperti tolok ukur diatas. Kenyataannya tidaklah demikian, dalam beberapa survey telah diyakini justru dalam memberi dan berbagi dengan sesama ternyata disitulah letak kebahagian.
Kembali kita melihat kebahagian yang diukur materi. Kebanyakan sesuatu yang mengurangi kebahagian adalah karena orientasi atau standar seseorang atas bayangan sesuatu yang ada diatasnya. Dengan melihat inilah seseorang akan selalu mengeluh dan menjadi tidak mensyukuri apa yang didapatnya.
Nabi Saw bersabda:  Ketika seorang dari kalian memandang orang yang melebihi dirinya dalam harta dan anak, maka hendaklah ia juga memandang orang yang lebih rendah darinya, yaitu dari apa yang telah dilebihkan kepadanya. (HR Muslim)
Kebanyakan orang terjebak menetapkan kebahagian berdasarkan standar yang demikian untuk hal-hal yang sebenarnya memiliki esensi dan manfaat yang sama. Ini adalah contoh beberapa hal terkait keseharian seperti  makan, tidur dan penghasilan yang sering dijadikan sebagai tolok ukur kebahagiaan.
Seseorang yang makan di restoran mewah dengan seseorang yang makan lauk  sederhana dirumah, apakah esensi kenyangnya beda?, tentu sama saja. Bisa jadi yang makan di rumah dengan lauk sederhana, namun disajikan dengan ikhlash dan suasana keceriaan keluarga yang dibangun akan menjadikan makanan terasa lezatnya, dibanding yang direstoran besar, rasanya juga belum tentu enak dan yang pasti sesudahnya akan pusing memikirkan harga makanannya yang mahal.
Begitu juga dengan tidur, banyak orang memimpikan bahwa tidur di rumah yang besar akan membahagiakan daripada tidurnya seseorang yang tidak punya rumah ( di kontrakan). Pastinya esensi tidurnya adalah tetap sama, apa iya yang tidurnya seseorang dengan mimpinya yang dirumah besar itu pasti lebih nyenyak dan indah daripada yang tidak punya rumah? jawabnya belum tentu.Bisa jadi yang dikontrakan tidurnya lebih nyenyak daripada yang dirumah besar, berAc pula.
Ukuran penghasilan sering dijadikan tolok ukur, seseorang yang berpenghasilan kecil selalu membayangkan seandainya memiliki penghasilan besar sehingga dia dapat memenuhi segala keperluannya. Padahal bila disadari penghasilan besar juga akan diikuti dengan list kebutuhan yang besar pula, belum bila seseorang itu harus mengikuti gaya hidup sesuai dengan penghasilannya alhasil malah akan terus kekurangan.
Berbeda dengan seseorang yang penghasilannya pas hanya cukup saja, dirinya sudah tentu akan tahu diri dalam membelanjakan apa-apa yang menjadi kebutuhannya, tuntutan tidak akan banyak sehingga tidak begitu merisaukan dirinya bila banyak tawaran kebutuhan datang.  Salah satu yang menenangkan hatinya bahwa tanggung jawab atau amanat harta yang diberikan Allah atas penghasilannya sudah tentu tidak sebesar dari orang yang berpenghasilan besar.
Dari 3 tolok ukur itu, makan, tidur dan penghasilan, Ustadz Yusuf Mansyur menyatakan bahwa bagi orang beriman mendapatkan sesuatu itu saja sudah suatu nikmat. Nikmat ini kemudian ditambah oleh Allah dengan dikaruniakan rasa nikmat tambahan dengan memandang segala sesuatunya kebawah bukan keatas. Pengaruniaan Allah akan rasa nikmat ini akan bermanfaat dikala diri melihat kekurangan, sehingga itu  tidak dilihatnya sebagai sesuatu yang membuat hidupnya semakin sempit.
Firman Allah : Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (ibrahim : 7)

Makloon Jahit Bandung: Solusi Terbaik untuk Bisnis Fashionmu!

 Hello Sobat IDkonveksi! Apakah kamu memiliki bisnis fashion namun kesulitan dalam proses produksi? Apakah kamu membutuhkan bantuan untuk me...