Minggu, 03 Mei 2009

IKHLAS DAN NIAT

Allah berfirman :
( Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan ) Huud : 15-16

Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya segala pekerjaan itu ( diterima atau tidaknya di sisi Allah )hanyalah tergantung niatnya, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya, maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang akan dia menikah dengannya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan. HR. Muttafaq 'alaih.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya orang yang pertama kali diputuskan perkaranya di hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah, maka dia didatangkan, dan diperlihatkan kepadanya segala nikmat yang telah diberikan kepadanya di dunia, lalu ia mengenalinya, maka Allah berkata kepadanya : apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat ini ? maka orang itu menjawab : aku berperang di jalan-Mu sampai mati syahid, maka Allah berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu berperang agar dikatakan bahwa kamu adalah seorang pemberani, dan yang sedemikian itu telah diucapkan ( kamu telak dipuji-puji dst sebagai imbalan apa yang telah kamu niatkan.pent. ) maka diperintahkan supaya dia diseret di atas mukanya sampai dilemparkan di api neraka, dan seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan menghapal al-Qur'an, lalu dia didatangkan dan diperkenalkan kepadanya segala nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya di dunia, maka diapun mengenalinya, maka dikatakan kepadanya : apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat ini ? maka dia menjawab : aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan membaca al-Qur'an untuk-Mu. Maka Allah berkata : kamu berdusta, akan tetapi kamu belajar dengan tujuan agar engkau dibilang seorang alim, dan engkau membaca/menghapal al-Qur'an supaya dibilang engkau seorang penghapal/pembaca al-Qur'an yang baik, dan semua itu sudah dikatakan ( kamu telah mendapat pujian yang kamu harapkan sebagai imbalan niatmu ) lalu diperintahkan agar dia diseret di atas mukanya sehingga dia dilemparkan ke api neraka, dan seseorang yang Allah berikan kepadanya keluasan rizki dan diberikan kepadanya segala macam harta, lalu dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya segala nikmat yang telah diberikan kepadanya dan dia mengenalinya, maka Allah berkata kepadanya : apa yang kamu kerjakan dengan nikmat ini ? maka dia menjawab : tidak ada suatu jalan yang Engkau suka harta yang telah Engkau berikan agar dibelanjakan padanya kecuali aku telah membelanjakan harta itu di jalan tersebut karena Engkau, maka Allah berkata : Kamu berdusta, akan tetapi kamu melakukan itu agar dibilang bahwa kamu adalah seorang dermawan dan yang sedemikian itu telah dikatakan ( kamu telah mendapat pujian tersebut di dunia sebagai imbalan dari niatmu itu ), lalu diperintahkan agar dia diseret di atas mukanya sehingga dia dilemparkan ke api neraka. HR.Muslim

Keterangan singkat :

Niat adalah dasar segala perbuatan, oleh karena itu setiap perbuatan manusia diterima tidaknya disisi Allah sebatas niatnya, maka barangsiapa mengerjakan suatu pekerjaan niatnya murni karena Allah dan mengharapkan ganjaran akhirat, sedang perbuatannya itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka amalnya akan diterima oleh Allah, dan barangsiapa niatnya untuk selain Allah atau tidak ikhlas karena Allah seperti dia menyekutukan-Nya dengan makhluk, maka pekerjaannya itu akan ditolak dan akan menjadi bencana baginya.

Hikmah yang dapat diambil dari ayat dan hadits di atas :

Bahwa dari syarat diterimanya amal adalah ikhlas yaitu bermaksud dengan amalnya itu karena Allah Ta'ala.

Pentingnya ikhlas, karena amal tanpa ikhlas akan menjadi bencana bagi yang mengerjakan pekerjaan tersebut, walaupun pekerjaan tersebut termasuk dari perbuatan ibadah yang mulia ( seperti memberikan sedekah, membaca al-Qur'an, mengajarkan ilmu bagi orang lain, bahkan mati syahid dalam medan perang melawan orang-orang kafir).

Bahwa baiknya bentuk suatu pekerjaan tidak cukup untuk diterimanya amal itu di sisi Allah akan tetapi harus dibarengi dengan niat ikhlas.

Wajibnya memperbaiki niat dalam segala perbuatan, dan berusaha keras untuk selalu ikhlas dalam beramal.


I K H L A S

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah
dengan memurnikan ketha'atan kepadaNya dengan lurus."
(QS. Al-Bayyinah: 5)

1. Ikhlas merupakan suatu sifat yang sangat agung, suatu rahasia dari
rahasia-rahasia yang dititipkan hanya di qalbu para hamba yang di-
cintai-Nya. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang benar-benar
murni ketha'atannya serta bersih dari noda-noda syirik, terlindung
dari karat-karat jahiliyyah, terbebas dari penyakit-penyakit jiwa.

Mereka adalah jiwa yang senantiasa berada dalam kecintaan kepada
Al-Haq. Gerak-geriknya adalah dzikru 'l-Laah. Senyum dan tangisnya
hanya karena Allah. Desah dan resahnya-pun karena Dia semata-mata.
Shalatnya, 'ibadahnya, hidupnya, matinya, dan semuanya demi Allah
Rabbu 'l-'Aalamiin.

2. Ikhlas adalah tingkat ihsan, yang meyakini sekalipun dirinya tidak
dapat melihat Allah tapi Allah melihat apa saja yang ia kerjakan.
Ia meyakini Allah bersama dengannya dimanapun ia berada. Desah na-
fasnya, getar hatinya, lintasan berfikirnya, resah jiwanya selalu
merasa dalam pengawasan Allah, sang Kekasih....

"Dan Dia bersama dengan kalian dimanapun kalian ber-
ada, dan Allah Maha Melihat akan apa-apa yang kalian
kerjakan." (QS. Al-Hadiid:4)

3. Ikhlas itu tidak pernah memandang, menghitung-hitung apa-apa yang
telah diperbuat, tidak mengharap-harap balasan/ganjaran dan tidak
pernah merasa puas dengan 'amal-'amal yang telah dikerjakannya. Ia
tidak membutuhkan pengakuan dirinya, hawa nafsunya, apalagi orang
lain. Ia tidak mencari keindahan. keuntungan, pujian, popularitas,
fasilitas apalagi isi tas.

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa
dan kekayaan kalian, tapi Allah melihat kepada qalbu
kalian dan 'amal-'amal kalian." (H.R. Imam Muslim)

4. Riya' merupakan penyakit yang tidak akan berjangkit didalam hati
hamba Allah yang selalu ikhlas, karena keduanya bertolak belakang.
Penyakit Riya' membuat seseorang ternoda dan tertolak 'amal-'amal-
nya, karena Allah tidak suka disaingi oleh apapun dan siapapun.

"Janganlah sekali-sekali kamu menyangka bahwa orang-
orang yang gembira dengan apa yang telah mereka per-
buat dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan
yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka
bahwa terlepas dari siksa dan bagi mereka siksa yang
paling pedih." (QS. Ali 'Imraan:188)

5. Demikian pula nifaq, sikap pura-pura yang menampilkan wajah suci
Islam tetapi sebenarnya kafir dan membenci Islam. Munafiq kategori
ini jelas-jelas KAFIR !! Ia menyembunyikan identitas aslinya seba-
gai MUSUH ALLAH!!! dan MUSUH KAUM MUSLIMIIN!!! Bicaranya DUSTA!!!
Janjinya PALSU!!! Amanah yang ada padanya DIKHIANATI!!! Diskusinya
TIDAK MENAMBAH IMAN!!!

"Allah menjanjikan bagi orang-orang munafiq laki-laki
dan perempuan, dan orang-orang kafir neraka jahanam,
mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka jahanam itu
bagi mereka, Allah melaknat mereka, dan bagi mereka
adzab yang kekal." (QS. At-Taubah:68)

"Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan)
pada tingkatan yang paling bawah dari neraka dan kamu
tak akan memperoleh seorang penolongpun bagi mereka."
(QS. An-Nisaa':145)

IKHLAS DAN BEBERAPA PERUSAKNYA

Pentingnya amalan hati

Secara umum amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan:"Bahwasanya ia meru pakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala dan rasulNya, bertawakal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah Subhannahu wa Ta'ala , bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap kepadaNya,.. dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib (Al fatawa 10/5, juga 20/70)

Imam Ibnu Qayyim juga pernah berkata: "Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat ruh, dan gerakan anggota badan adalah jasadnya. Jika ruh itu terlepas maka matilah jasad. Oleh karena itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan hati lebih penting daripada memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerakan anggota badan (Badai 'ul Fawaid 3/224).

Lebih jauh lagi dalam kitab yang sama beliau menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan anggota badan tidak ada manfaatnya tanpa amalan hati, dan sesungguhnya amalan hati lebih fardhu (lebih wajib) bagi seorang hamba daripada amalan anggota badan.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)
Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).

Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. (na'udzu billah min dzalik).

Pengertian Ikhlas

Ada beberapa pengertian ikhlas, diantarnya:
pertama, Semata-mata bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan. kedua, Ada yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia. Ketiga, Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan peng-hargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain,karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang,walaupun perbuatan itu sepele.

Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah."

Perusak-perusak Keikhlasan

Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:

1) Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya. 2) Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).3)'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)

Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy' yaitu:

1)Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak ia dapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.

2)Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan.
Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid Al Ghazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empatpuluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan), berkata Abu Hamid: "Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata: "Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.

Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: "Hal ini dikarenakan manusai terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah.Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah,maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.

Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: "Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya' yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.

Cara-cara mengobati riya'

1)Harus menyadari sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba. Dan tugas seorang hamba adalah mengabdi dengan sepenuh hati, dengan mengharap kucuran belas kasih dan keridhaanNya semata.

2)Menyaksikan pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya diukur dengan kehendak Allah bukan kemauan diri sendiri.

3)Selalu melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak bagian dari amal yang telah kita berikan untuk hawa nafsu dan syetan. Karena ketika orang tidak mau melakukan suatu amal, atau melakukannya namun sangat minim maka berarti telah memberikan bagian (yang sebenarnya untuk Allah), kepada hawa nafsu atau syetan.

3) Memperingatkan diri dengan perintah-perintah Allah yang bisa memperbaiki hati.

4)Takut akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan berbuat riya'.

4) Memperbanyak ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail, shadaqah sirri, menagis karena Allah dikala menyandiri dan sebagainya.
5) Membuktikan pengagungan kita kepada Allah, dengan merealisasikan tauhid dan mengamalkannya.

6)Mengingat kematian dan sakaratul maut, kubur dan kedah syatannya, hari akhir dan huru-haranya.

7) Mengenal riya', pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya.

8) Melihat akibat para pelaku riya' baik di dunia maupun di akhirat.

9) Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan riya'dengan membaca doa:"Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat syirik padahal aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang tidak ku ketahui."
Wallahu a'lam bis shawab.


Disarikan dari buku al ikhlash wa asy syirkul asghar,Dr Abdul Aziz bin Muhammad Al Abdul Lathif, Darul Wathan Riyadh
(Ibnu Djawari)
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebebenar-benarnya, dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kepada tali (agama) Allah, dan jangan-lah kalian bercerai berai". (Ali-Imran: 102-103)

Di tengah-tengah maraknya kebangkitan Islam diberagai belahan dunia, gerakan dan semangat keilmuan merebak di mana-mana. Dalam hal ini, kalangan generasi muda tak ketinggalan ikut mengambil peranan. Semuanya adalah pertanda baik, tapi terkadang sebagian mereka terjerumus ke dalam dua bahaya besar :

Pertama, sebagian mereka dengan mudahnya berfatwa, sementara bahan dan piranti yang mereka miliki sedikit sekali. Ibnul Qayim berkomentar: "Tidak lah seorang mufti atau hakim disebut berkapasitas untuk mengeluarkan fatwa atau untuk menentukan hukum secara benar kecuali ia harus memahami dan mengerti dua hal:

Memahami kondisi sosiologis masyarakat setempat, berbagai hal pendukung terjadinya kondisi tersebut serta berbagai persoalan penting yang berkaitan dengan mereka.

Memahami hukum yang sesuai dengan kondisi tersebut. Dengan kata lain, menerapkan hukum Allah yang ditetapkanNya untuk jenis masyarakat tersebut sebagaimana yang ada dalam Al-Qur'an atau dalam hadis Nabi."

Bila ia benar-benar mengeluarkan segenap kemampuannya pada dua hal tersebut dalam arti yang sebenarnya maka ia tergolong mujtahid. Dengan demikian, minimal ia akan mendapat-kan satu dari dua macam pahala yang dijanjikan baginya.

Kedua, sebagian mereka jika sampai pada kesimpulan hukum (ijtihad) masalah tertentu, ia menganggap bahwa kesimpulan yang dimilikinya itu merupakan kebenaraan akhir dan mutlak, sedang yang lain salah semua. Pada tahap berikutnya, hal itu akan mendorong egonya untuk memaksa-kan pendapat kepada orang lain. Orang yang mendukung pendapatnya dianggap sebagi sahabat karib, sedangkan yang berbeda pendapat dengannya dianggap musuh bodoh, dan ahli taklid.

Di atas itulah fenomena yang pada galibnya terjadi dalam menyikapi persoalan ijtihad. Makalah singkat ini berupaya mengetengahkan manhaj Ahlus Sunnah dan para salafus Shalih dalam soal ijtihad. Sebelum sampai pada isi pokok pembahasan, perlu kiranya kita menggaris bawahi dua hal penting:

Sesungguhnya perbedaan pendapat di kalangan para ulama dulu tidaklah atas dasar hawa nafsu tetapi semua itu berdasarkan dalil dan ijtihad.

Bahwa para ulama adalah orang-orang yang paling dekat dan paling takwa kepada Allah.

Pengaruh takwa ini tampak jelas dalam kehati-hatian mereka dalam berfatwa. Sofyan berkata: "Aku hidup di masa fuqaha. Mereka enggan ber-fatwa kecuali pada situasi yang sangat dibutuhkan".

Perpecahan dan Perbedaan Adalah Tercela. Meskipun ijtihad -yang biasanya lebih berpeluang melahirkan perbeda an pendapat yang berdasarkan atas dalil diperbolehkan, tetapi pada hakekatnya Islam sangat menganjurkan persatuan dan mencela perpecahan.

Oleh :

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

HAKIKAT MANUSIA

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan" (QS. Al Isra': 70)

Suatu siang, jalan baru di pinggiran kota dipenuhi kerumunan orang. Mereka
saling berdesakan untuk bisa melihat obyek pandangan yang menjadi sasaran
penglihatan mereka. Ternyata yang menjadi obyeknya adalah seonggok mayat
yang penuh luka. Rupanya itu adalah mayat seorang residivis yang diamuk
massa. Mayat itu tergeletak dibiarkan begitu saja. Orang lalu lalang silih
berganti hanya untuk melihat, mayat siapakah gerangan?. Itu saja yang
diperbuat orang banyak bukan untuk memberikan pertolongan atau memproses
mengurusi jenazahnya. Ada pula yang sumpah serapah kepada mayat tersebut,
bahkan ada juga yang merasa senang atas tewasnya sang residivis, karena
berkuranglah kejahatan yang dilakukan orang itu.

Sementara di sudut kampung terdapat sebuah rumah yang dipenuhi kerumunan
orang yang ingin takziyah melayat jenazah seorang ustadz di wilayah itu.
Rumah kecilnya tidak pernah berhenti dikunjungi orang. Mereka sangat
menghormati sang ustadz yang teramat mereka cintai. Karena jasa-jasa beliau
begitu banyak memberikan pencerahan aktivitas keagamaan di kampung terpencil
itu. Bahkan orang yang menshalatkannya bergiliran secara bergelombang
lantaran penuh sesaknya orang yang ingin turut menshalatkannya. Begitu pula
ketika mengantarkannya ke pemakaman tempat peristirahatannya yang terakhir,
masyarakat berduyun-duyun mengiringinya. Tampak raut wajah penuh duka
kehilangan figure guru yang mereka cintai, karena telah mengajari mereka
tentang kebenaran. Petuah ajarannya yang menjadikan mereka lebih memahami
kebenaran dan kebatilan. Mereka dapat mengetahui hakikat kehidupan yang
sebenarnya.

Potret dua keadaan di atas sangatlah bertolak belakang. Hal ini merupakan
tampilan masyarakat yang dapat kita temukan dengan mudah di sekitar kita.
Seonggok jenazah yang pertama dan kedua diperlakukan berbeda oleh
masyarakatnya. Perlakukan itu semakin memperjelas bagi kita tentang
kedudukan dua orang tersebut yang mempunyai perbedaan yang sangat mendasar.
Perbedaan kualitas dan hakikat dirinya sebagai manusia. Sekalipun secara
fisik keadaan mereka berdua tidaklah berbeda satu dengan yang lainnya.

Perlakukan yang berbeda itu sebenarnya telah disinyalir oleh Allah Swt.
dalam Al-Qur'an bahwa mereka yang beriman dan beramal shalih akan dimuliakan
kedudukannya sedangkan mereka yang membangkang akan direndahkan derajatnya
bahkan lebih rendah dari binatang ternak. Perlakukan itu tidak hanya di
dunia melainkan juga di akhirat. Malah di akhirat lebih besar lagi perbedaan
dalam memperlakukan model-model manusia seperti itu.

Sebagaimana yang kita pahami bahwa persoalan di atas terletak pada sikap
dalam menjalankan kedudukan dirinya sebagai manusia. Mereka yang benar dalam
mendudukkan posisinya sebagai manusia seperti yang ditentukan Allah Swt.
maka mereka pantas untuk mendapatkan perlakukan yang layak dan baik.
Sebaliknya mereka yang tidak dapat mendudukkan dirinya dengan tepat maka
mereka pun akan dihinakan karena sikapnya.
Manusia sebagai makhluk Allah Swt. tentu memiliki kedudukan yang berbeda
dari ciptaan-Nya yang lain. Oleh karena itu mereka mempunyai imtiyazat
(keistimewaan) sebagai makhluk Allah Swt. Al-Qur'an menyebutkannya dalam
beberapa sisi. Di antaranya;

1. Mukarram (makhluk yang dimuliakan)
Sebagai makhluk yang dimuliakan Allah Swt. manusia diberikan keistimewaan.
Bentuk fisik yang bagus dengan tata letak yang tepat menjadikan dirinya
berbeda dengan makhluk lainnya. Letak kepalanya, hidungnya, alisnya,
mulutnya dan beberapa organ lainnya yang sesuai dengan posisi dan porsinya.
Dengan tampilan seperti itu manusia kelihatan cantik dan ganteng. Sehingga
manusia tidak pernah malu pada hewan atau tetumbuhan lantaran tampilan
fisiknya. Keistimewaan bentuk fisik yang dimiliki manusia merupakan karunia
Allah Swt. yang membuatnya tidak pernah merasa minder bila berada di kebun
binatang sekalipun binatang yang terdapat di dalamnya adalah
binatang-binatang pilihan.

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya" (QS. At Tiin: 4)

Dengan tampilan fisik dan bentuk yang bagus manusia juga diberikan
keistimewaan lainnya. Yakni ditundukkannya alam semesta untuk kehidupannya.
Manusia bisa mengarungi samudera yang luas. Mengelilingi dunia, menikmati
panorama indahnya alam raya. Diberikan kepadanya tumbuh-tumbuhan baik yang
dapat dikonsumsinya ataupun untuk dipandangnya. Juga dijinakkan hewan-hewan
kepadanya sehingga ada yang dapat dimakan, ditunggangi atau untuk membantu
kehidupan umat manusia. Semua anugerah itu merupakan bentuk pemuliaan Allah
Swt. kepada manusia. Agar karunia tersebut dapat dipergunakan bagi
kehidupannya dalam mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Namun jika kenikmatan
itu tidak dipergunakan sebagaimana aturan-Nya maka Allah Swt. akan memandang
hina dan rendah manusia itu. Mereka disamakan derajatnya dengan hewan bahkan
lebih dari itu. Na'udzubillahi min dzalik.

2. Mukallaf (makhluk yang dibebankan tugas)
Dengan kelebihan dan karunia yang diberikan kepada mereka, manusia dibeban
tugaskan untuk beribadah dan mengatur serta merawat jagat raya yang menjadi
sarana hidupnya dengan sebaik-baiknya. Agar mereka menyadari bahwa karunia
itu tidak datang dengan sendirinya melainkan ia adalah pemberian Tuhan
sehingga mereka seharusnya berterima kasih pada-Nya dengan senantiasa
beribadah.

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku" (QS. Ad Dzariyat: 56)

Begitu pula manusia harus menyadari bahwa sarana hidupnya telah tersebar di
penjuru bumi agar mereka menggalinya, memanfaatkannya dan merawatnya untuk
kehidupannya. Pada posisi peran ini manusia menjadi pemimpin di alam semesta
ini (khalifah) yang menjalankan ajaran Allah Swt. dan merealisasikannya
dengan benar. Bukan malah melakukan kerusakan di muka bumi, dengan
menghancurkan alam raya, merusak ekosistem hidup atau membiarkannya punah
dan musnah. Agar manusia dapat menjaga kelestarian hidupnya dan jagat raya
sebagai sarana hidupnya.

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan Khalifah dimuka bumi".... (QS. Al Baqarah: 30).

3. Mujzi (makhluk yang mendapatkan balasan atas amalannya)
Dalam menjalankan beban tugasnya manusia pun mendapatkan balasan atas
amalannya. Mereka yang menunaikan tugasnya dengan baik manusia berhak meraih
anugerah keridhaan dan surga-Nya. Sedangkan mereka yang tidak menunaikan
tugasnya maka azab dan neraka-Nya lebih pantas untuk mereka terima. Seberapa
pun amal yang mereka kerjakan kecil atau besar pasti mendapatkan balasannya
baik atau pun buruk. Dengan agar manusia dapat memahami bahwa semua
perbuatan yang dilakukannya tidak akan dibiarkan begitu saja melainkan pasti
akan ada balasannya.

"Barang siapa yang mengerjakan amal kebaikan seberat dzarrah pun niscaya dia
akan mendapatkan balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan amal
kejahatan seberat dzarrah pun niscaya dia akan mendapatkan balasannya pula"
(QS. Az Zalzalah: 7 - 8).

Demikianlah kedudukan manusia yang sebagian di jelaskan dalam Al Qur'an,
agar kita mampu menjalankannya dengan benar sehingga kita dapat meraih
derajat yang mulia di sisi Allah Swt. dan makhluk-Nya. Wallahu 'alam
bishshawab. (SyH)

GANJARAN SEDEKAH

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir, seratus biji, Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Baqarah:261)

Kebaikan yang dikerjakan oleh setiap muslim akan diganjar Allah 10 kali lipat sampai 700 kali lipat. Tidak terkecuali bersedekah dan berinfak di jalan Allah SWT. Bersedekah termasuk ibadah yang bermanfaat bagi si pelaku dan objek yang menerima sedekah tersebut. Bersedekah itu tidak mengurangi harta, bahkan harta yang disedekahi akan membawa berkah. Hal itu dipraktekan oleh Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah saw itu senang bersedekah tetapi beliau tidak mau menerima sedekah. Banyak orang masuk Islam karena pemberian dari Rasulullah saw. Tetapi Annas bin Malik melaporakan bahwa mereka masuk Islam di pagi hari disebabkan oleh dunia, di sore hari mereka telah berubah, dan justru mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT.

Nabi Muhammad saw mengingatkan bahwa manusia senang membanggakan hartanya, sementara yang dia dapat menikmatinya hanya sedikit; barang yang dipakai akan usang, makanan yang dimakan menjadi sari dan kotoran, dan yang disedekahkan di jalan Allah , itu saja yang tertinggal dan bermanfaat (HR. Muslim).


Alangkah beruntungnya orang yang mengerti terhadap amanat harta yang diembanya, sehingga dia tidak berkeberatan untuk menyalurkannya di jalan Allah, itulah harta yang berkah.


Oleh :

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

GHIBAH

Janganlah sebagian kamu mengunjing (ghibah) sebagian yang lain, sukakah seorang diantaramu memakan saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujarat:12)

Setiap muslim berkewajiban untuk menjaga lidahnya, hendaknya dia berkata baik sehingga bermaslahat bagi dirinya dan pendengarnya atau dia diam (HR. Muttafaq Alaih). Karena setiap kata yang keluar dari lisan seseorang akan dicatat sebagai kebaikan atau keburukan sesuai apa yang dia bicarakan (lihat QS. Qaf:18). Maka dari itu. Nabi saw selalu menganjurkan setiap muslim untuk menjaga lidahnya, karena banyak orang tergelincir ke neraka karena terlalu mengumbar lidahnya yang tidak bertulang itu. "Barang siapa dapat menjaga antara kumis dan jenggotnya (yakni lidah) dan antara kedua kakinya (yakni kemaluannya), maka aku jamin surga" demikian sabda Rasulullah saw (HR. Muttafaq Alaih).

Terlalu banyak bukti bahwa diantara sumber konflik antar pemerintah, masyarakat dan individu disebabkan oleh pernyataan-pernyataan yang sarat dengan tendensi buruk, yang berakibat menyinggung bahkan melukai perasaan pihak lain. Ghibah salah satu penyakit masyarakat yang dapat memperkeruh suasana. Rasulullah saw pernah mendefinisikan ghibah itu, yaitu Anda menyebut saudara / kawan Anda dengan sesuatu yang tidak disukainya. Kemudian beliau ditanya, kalau hal itu memang ada pada orang itu? beliau menjawab, "Kalau pernyataan itu memang ada pada orang itu berarti Anda telah melakukan ghibah, kalau tidak ada berarti Anda berbohong" (HR. Muslim). Memang sebaik-baik orang Islam adalah yang dapat menjaga lisan dan tangannya, sehingga tidak mengganggu pihak lain (HR. Muttafaq Alaih). Dan sepantasnya kita membersihkan diri dari ghibah, karena itu sifat orang beriman (lihat QS. Al-Qashosh:55 dan Al-Mukminun:3)


Oleh :

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

MENYIKAPI PERBEDAAN

“Kita bekerja sama untuk hal-hal yang kita sepakati dan kita saling bertoleransi untuk hal-hal yang tidak kita sepakati.” --Hasan Al-Banna, Majmu’atur Rasaail

Musibah terbesar yang menimpa kaum Muslimin adalah perpecahan. Apa yang membuat kaum Muslimin bisa menang kembali adalah cinta kasih dan persatuan. Umat ini tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi pertamanya dahulu. Inilah prinsip dasar dan sasaran penting setiap muslim.


Perbedaan dalam berbagai masalah furu' (masalah cabang) merupakan sesuatu yang niscaya. Mustahil manusia bisa bersatu dalam masalah-masalah tersebut, karena beberapa alasan sebagai berikut:


Perbedaan kapasitas intelektual dalam memahami dan menangkap kedalaman makna-makna dalil serta dalam mengambil keputusan hukum.

Perbedaan keluasan ilmu para ulama. Imam Malik berkata kepada Abu Ja'far, "Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya itu hanya akan menimbulkan fitnah."

Perbedaan lingkungan yang antara lain menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola penerapan hukum. Itulah sebabnya Imam Syafi'i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Iraq kemudian memunculkan fatwa baru (qauljadid) ketika beliau berada di Mesir.

Perbedaan tingkat ketenangan hati dalam menerima suatu riwayat.

Perbedaan dalam menentukan tingkat kekuatan dalil kepada hukum tertentu.

Mengharapkan adanya ijma' dalam masalah furu' adalah mustahil. Bahkan bertentangan dengan tabiat agama (dan kemanusiaan itu sendiri), karena Allah menghendaki aktualitas agama ini abadi dan dapat menyertai semua zaman. Inilah rahasia mengapa agama Islam ditata sedemikian rupa oleh Allah sehingga mudah, fleksibel, bebas dari kebekuan dan ekstrimisme.

Perbedaan-perbedaan itu tidak akan menghambat proses menyatunya hati, saling mencintai dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Islam yang universal ini akan sanggup memayungi kita dalam batasan-batasannya yang begitu luas.

Bukankah sebagai Muslim kita suka bertahkim kepada sesuatu kita merasa tenang kepadanya? Bukankah kita dituntut untuk mencintai bagi saudara kita apa yang kita cinta bagi diri kita sendiri? Lantas, mengapa masih harus ada perpecahan? Mengapa kita tidak berusaha untuk saling memahami dalam suasana penuh cinta? Para sahabat Rasulullah Saw juga sering berbeda dalam memutuskan hukum. Tapi adakah itu kemudian memecah belah hati mereka? Sama sekali tidak.

Jika para sahabat saja—yang lebih dekat dengan zaman kenabian dan lebih tahu tentang seluk beluk hukum—masih juga berbeda pendapat, mengapa kita harus saling membunuh untuk suatu perbedaan dalam masalah-masalah sepele? Jika para Imam saja, yang lebih tahu tentang Al-Qur'an dan Sunah, masih saling berbeda dan berdebat, mengapa dada kita tidak selapang mereka dalam mensikapi perbedaan?

Kesadaran itulah yang akan membuat dada kita lebih lapang dalam menghadapi berbagai perbedaan. Setiap kaum memiliki ilmu, dan bahwa pada setiap (jama’ah) da’wah ada sisi benarnya dan ada sisi salahnya. Kita akan selalu mencari sisi yang benar dan berusaha menyampaikan (sisi salahnya) kepada orang lain secara persuasif. Bila kemudian mereka menerima, maka itulah yang lebih baik, dan itu pula yang kita harapkan.

Adapun jika ternyata mereka menolak, sesungguhnya mereka tetap kita anggap sebagai saudara seagama. Kami berharap semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.

Kita akan menerima adanya perbedaan dan membenci sikap fanatisme terhadap pendapat sendiri. Kita senantiasa berusaha menemukan kebenaran, kemudian membawa masyarakat kepada kebenaran itu dengan cara yang baik dan sikap yang lemah-lembut.*

Deka Kurniawan, diadaptasi dari Majmuatur Rasaail/Hidayatullah

Makloon Jahit Bandung: Solusi Terbaik untuk Bisnis Fashionmu!

 Hello Sobat IDkonveksi! Apakah kamu memiliki bisnis fashion namun kesulitan dalam proses produksi? Apakah kamu membutuhkan bantuan untuk me...